Wednesday, November 23, 2011

Omset besar tapi tidak merasakan untung?

Salah satu fakta yang saya amati selama ini adalah pebisnis server pulsa merasa tidak pernah untung, padahal omsetnya besar (miliaran). Transaksi harian sudah mencapai ribuan bahkan puluhan ribu, tapi kemana untungnya? Pada saat membutuhkan dana untuk pengembangan usaha,  kok tidak punya uang? Mengapa bisa begitu? Apa penyebabnya? Berikut hasil analisa saya.

1. Uang usaha tercampur dengan uang pribadi.

Ini dia kebiasaan buruk yang harus dihentikan, uang usaha tercampur dengan uang pribadi. Karena tercampur dengan uang pribadi, maka tidak jelas berapa rupiah milik usaha, dan berapa rupiah yang milik pribadi. Karena tidak jelas, maka seringkali yang jadi korban adalah usahanya, uang usaha dipakai untuk keperluan pribadi! Karena sering dipakai untuk pribadi, ya tidak terjadi pertumbuhan. Bagaimana bisa tumbuh kalau baru untung sedikit sudah dihabiskan untuk pribadi? Tidak heran kalau usahanya tidak berkembang alias segitu-gitu saja.
Mengapa dicampur? Sebagian besar pemilik usaha mengatakan: “Itu kan uang saya, ya terserah saya dong mau dipakai buat apa?”. Nah mental yang begini ini yang bikin usahanya gak maju-maju atau malah bangkrut. Sebab penggunaan uang usahanya jadi tidak terkendali. Walaupun itu uang usaha kita, tapi tidak boleh kita ambil seenaknya, apalagi buat keperluan pribadi.
2. Prive
Prive adalah hak pemilik usaha yang diambil tiap bulan dari usaha. Prive ini diperbolehkan dalam sistem akuntansi, tapi sangat tidak disarankan! Mengapa? Sebab jika keuntungan setiap bulan diambil oleh pemilik usaha, nanti jika usahanya membutuhkan dana segar malah kesulitan! Padahal, jika pemilik usaha tidak mengambil prive, dana yang berputar di usahanya jadi lebih besar, ini bagus buat pertumbuhan dan pengembangan. Jika suatu hari usahanya melalui masa sulit (karena penjualan menurun) sebagai resiko bisnis, maka usahanya punya dana yang cukup untuk melakukan langkah-langkah perbaikan. Jika usahanya tidak punya dana yang cukup, pilihannya tinggal 2:
  1. Ditutup (ganti usaha) atau
  2. Dijual (ganti pemilik).

3. Kebocoran & Penyusutan

Kebocoran (leak) dan penyusutan (shrinkage) banyak kita temukan. Contoh-contoh kebocoran: karyawan yang tidak jujur melakukan pencurian, menggunakan fasilitas perusahaan untuk kepentingan pribadi, korupsi, dan lain-lain. Contoh-contoh penyusutan: barang yang dijual rusak, uang kertas yang rusak, uang palsu.
Kebocoran ini biasanya jumlahnya kecil-kecil tapi sering. Karena jumlahnya kecil, pemilik usaha sering mengabaikannya. Mungkin karena dianggap tidak beresiko besar. Ada juga yang segan atau sungkan, masak pencurian Rp 10.000 saja dipermasalahkan? Tapi justru kebocoran yang kecil-kecil inilah yang mematikan sebab menular dan meluas seperti parasit dan membuat usahanya jadi “sakit”.
Obatnya adalah sistem kontrol yang dijalankan dengan efektif dan konsisten.

4. Main saham atau properti

Usaha belum stabil, tapi ada uang banyak tersimpan di bank. Rasanya sayang (lebih tepatnya gatal) kalau dibiarkan nganggur, akhirnya tergiur untuk main saham atau properti. Sebagaimana kita tahu, main saham atau properti membutuhkan dana segar yang cukup banyak. Akhirnya, kekurangan dana buat main saham atau beli properti diambil dari deposit agen yang disimpan di bank. Padahal deposit agen itu kan hutang!
Efeknya, cashflow terganggu. Cashflow ini mirip peredaran darah. Kalau cashflow sudah terganggu, efeknya menyebar luas ke semua aspek. Pembelian mulai terganggu karena dananya tidak cukup. Untuk cari dana, agen diberikan cashback atau refund yang besar kalau deposit dalam jumlah besar. Hutang ditutup dengan hutang lagi. Anda bayangkan hal tersebut terjadi tiap hari atau tiap minggu. Bukannya keuntungan yang didapat, tapi kolaps.

5. Tidak punya Laporan Keuangan

Ini juga salah satu penyebab yang paling fatal, tidak punya Laporan Keuangan. Kalau laporannya saja tidak ada, bagaimana kita tahu usaha kita untung atau tidak? Laporan Keuangan ini terdiri dari 3 bagian, yaitu Cashflow, Income Statement (Laba-Rugi) dan Balance Sheet (Neraca). Ada juga laporan tambahan seperti Laporan Perubahan Modal dan Rasio Keuangan. Tapi minimal laporan keuangan harus memiliki 3 jenis laporan tersebut.
Kalau tidak ada laporan keuangan, bagaimana kita bisa mengambil keputusan dengan tepat? Padahal keputusan-keputusan kita itu sudah pasti memberikan efek ke kondisi keuangan. Kapan kita harus beli aset lagi, berapa anggaran untuk gaji karyawan, berapa biaya marketing yang harus dikeluarkan?
Kalau tidak ada laporan keuangan, bagaimana kita tahu ada kebocoran atau tidak? Tanpa laporan keuangan, kebocoran kecil tidak bisa terdeteksi. Akhirnya sistem kontrol juga lemah.
Ibarat kendaraan, laporan keuangan ini adalah dashboardnya. Jika Anda seorang pilot, apakah Anda berani naik pesawat yang tidak ada dashboardnya? Jika Anda seorang awak (karyawan) atau penumpang (konsumen), apakah Anda berani naik pesawat yang tidak ada dashboardnya? :D

6. Tidak bisa membaca Laporan Keuangan

Nah, kalau ini sudah ada laporan keuangan tapi tidak bisa membacanya. Jadi, setiap ada laporan keuangan tiap bulan malah bingung. Sebagai pemilik usaha, kita wajib bisa membaca laporan keuangan supaya bisa tahu apakah usaha kita sehat atau sakit, apakah kita di jalur yang tepat atau malah nyasar, apakah “pesawat kita” ini terbang atau jatuh?
Ibarat pesawat terbang yang canggih tapi tidak bisa diterbangkan dengan baik. Bagaimana bisa terbang, membaca saja aku sulit? Hehehe :D

Penutup

Sekian dulu tulisan singkat saya di akhir minggu ini, semoga bermanfaat buat yang membaca.
Kalau mau copy-paste, silakan cantumkan link aslinya. Kalau tidak dicantumkan, namanya menjiplak. Dan menjiplak tulisan orang lain itu tindakan sangat memalukan dan merendahkan diri sendiri :D
sumber:  website Voucha